Dalam kunjungannya ke halal bihalal keluarga besar Djojodigdo di Balai Sarwono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (3/12/2016), Djarot berfilosofi soal jongos atau pelayan bagi rakyat Jakarta.
Ia menyebut pemimpin daerah yang digaji oleh rakyat, harusnya menempatkan diri sebagai pelayan.
Djarot bahkan menyebut dirinya dan Ahok sebagai jongos selama memimpin Jakarta dua tahun terakhir ini.
"Nek boso blitare babu, jongos, nek luwih kasar, gedibal (kalau bahasa blitarnya, babu, jongos, kalau lebih kasar, gedibal). Betul itu, jongos yang bisa disuruh apapun, eh bersihkan kali-kali, eh sampah angkat, eh transportasi macet benahin," kata Djarot di hadapan keluarga besar Djojodigdo.
Djarot mengatakan mental jongos ini sudah dianutnya sejak ia terpilih sebagai Wali Kota Blitar 10 tahun silam. Dengan mental jongos itu, Djarot mengaku selama di Blitar tak sungkan bergaul dengan siapapun, pergi ke manapun dengan motornya.
Baginya, membahagiakan rakyat yang merupakan 'bos' adalah kebahagiaannya juga.
Djarot juga sempat menyinggung soal kasus penistaan agama yang menjerat pasangannya, Ahok. Ia tak habis pikir bagaimana pernyataan Ahok yang mengutip surat Al-Maidah dipolitisasi.
"Ini sudah sedikit aja selesai lho, kami geregetan transportasi, banjir, mereka yang enggak mampu sekolah, kami sekolahin dengan baik. Bos-bos kami juga yang di kolong jembatan kami relokasi, dsn sebagainya. Iya enggak? Nah kalau jongos dianggap enggak baik, ya pecat juga enggak apa-apa kok ya, enggak usah dipilih lagi karena bosnya rakyat kan," ucap dia.
Djarot akan menerima jika kerjanya selama ini tak becus, ia dan Ahok menuai banyak omelan dari warga. Namun ia berharap jika selama ini melayani dengan baik, maka rakyat akan memilihnya kembali.
"Yang kita lakukan di sini mengubah mental betul-betul, para pemimpin yang dulu mintanya dilayani, diubah, bahwa pemimpin adalah jongosnya rakyat Jakarta, jongosnya Indonesia. Kalau ini bisa dilakukan, insya Allah cepat makmur," katanya.
Ia menyebut pemimpin daerah yang digaji oleh rakyat, harusnya menempatkan diri sebagai pelayan.
Djarot bahkan menyebut dirinya dan Ahok sebagai jongos selama memimpin Jakarta dua tahun terakhir ini.
"Nek boso blitare babu, jongos, nek luwih kasar, gedibal (kalau bahasa blitarnya, babu, jongos, kalau lebih kasar, gedibal). Betul itu, jongos yang bisa disuruh apapun, eh bersihkan kali-kali, eh sampah angkat, eh transportasi macet benahin," kata Djarot di hadapan keluarga besar Djojodigdo.
Djarot mengatakan mental jongos ini sudah dianutnya sejak ia terpilih sebagai Wali Kota Blitar 10 tahun silam. Dengan mental jongos itu, Djarot mengaku selama di Blitar tak sungkan bergaul dengan siapapun, pergi ke manapun dengan motornya.
Baginya, membahagiakan rakyat yang merupakan 'bos' adalah kebahagiaannya juga.
Djarot juga sempat menyinggung soal kasus penistaan agama yang menjerat pasangannya, Ahok. Ia tak habis pikir bagaimana pernyataan Ahok yang mengutip surat Al-Maidah dipolitisasi.
"Ini sudah sedikit aja selesai lho, kami geregetan transportasi, banjir, mereka yang enggak mampu sekolah, kami sekolahin dengan baik. Bos-bos kami juga yang di kolong jembatan kami relokasi, dsn sebagainya. Iya enggak? Nah kalau jongos dianggap enggak baik, ya pecat juga enggak apa-apa kok ya, enggak usah dipilih lagi karena bosnya rakyat kan," ucap dia.
Djarot akan menerima jika kerjanya selama ini tak becus, ia dan Ahok menuai banyak omelan dari warga. Namun ia berharap jika selama ini melayani dengan baik, maka rakyat akan memilihnya kembali.
"Yang kita lakukan di sini mengubah mental betul-betul, para pemimpin yang dulu mintanya dilayani, diubah, bahwa pemimpin adalah jongosnya rakyat Jakarta, jongosnya Indonesia. Kalau ini bisa dilakukan, insya Allah cepat makmur," katanya.